Kata pengantar
Puji
dan syukur kita panjatkan kehadiran tuhan yang maha esa yang telah memberikan
rahmat, taufik dan hidayah sehingga kelompok ini dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya.makalah dari klompok kami yang berjudul “Munakahat”.dan
kami tidak lupa pula acurkan selawat dan salam kepada junjungan nabi besar
Muhammad saw, yang telah mendampingi
kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menerang.
Didalam
makalah ini terdapat beberapa pembahsan diantaranya pengertian perkawinan,
hokum perkawinan, rukun dan syarat sah nikah, wanita yang haram dinikahi serta
hikmah pernikahan dan perkawinan.
Kami semua menyadari banyak kekurngan
dalam penulisan makalah ini, itu karenakan kemampuan kami semua yang terbatas. namun
berkat bantun dan dorongan serta bimbingan, arahan, koreksi, dan saran.
Akhirnya pembuatan makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktunya. kami berharap dengan penulisan makalah ini dapat
bermanfaat bagi bagi para pembaca pada umumnya serta dapat manjadi bahan
pertimbangan dan meningkatkan pertasi dimasa yang akan dating.
Penyusun
Kelompok
IV
BAB I
Latar
Belakang
I.I. LATARA BELAKANG
Pernikahan
dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah
kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar
keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus
diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I
pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia (Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: bab pernikahan).
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia (Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: bab pernikahan).
Rukun
yang pokok dalam perkawinan,ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju
bersifat kewajiban yang tak dapat dilihat denga mata kepala, karena itu harus
ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadaka ikatan bersuami
istri. Pelambang itu diutaraka dengan kata-kata oleh kedua belah pihakk
yang mengadakan aqad.
Pernyataan
pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri
disebut ijab, dan penyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan
akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya disebut qobul.
Dari
sini kemudian para ahli fiqh menyatakan bahwa syarat perkawinan(nikah) adalah
ijab dan qobul.Lantas, bagaimana ijab qobul yang benar menurut syara?dan
bagimana hukum nikah yang ada landasan lain?seperti nikah syigor,mut’ah atau
tahlil?
- B. Perumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada
permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini,
terdari dari :
- Apa saja hal-hal yang menjadi syarat sah shigat ijab qobul?
- Bagaimana kejelasan shigat yang dikaitkan dengan persyaratan?
- Bagaimana penjelasan mengenai nikah syigar,mut’ah, dan tahllil?
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk
terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Kedua belah pihak sudah tamyiz.
- Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di
dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh
masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan
kata-kata kasar.
- A. Syarat sah Shigat Ijab qobul
Para
ahli fiqih mensyaratkan ucapan ijab qobul itu dengan lafadz fi’il madhi atau
salah satunya dengan fi’il madhi dan yang lain fi’il mustaqbal.
Contoh Pertama :
Pengijab : Zawwajtuka ibnati (Aku
kawinkan anak perempuanku dengan kamu).
Penerima : Qobiltu (saya terima ).
Contoh Kedua :
Pengijab : Uzawwijuka ibnati (aku
kawinkan sekarang anak perempuanku dengan kamu ).
Penerima : Qobiltu (saya terima ).
Mereka
mensyaratkan demikian karena keridhaan dan persetujuan kedua belah pihak yan
gmenjadi rukun pokok aqad nikah dengan demikia bisa diketahui dengan jelas, dan
oleh karena ijab dan qobul merupakan lambang dari adanya ridha kedua pihak,
haruslah dinyatakan dengan ucapan yang pesti menunjukkan adanya keridhaan, dan
secara konkrit dinyatakan dengan tegas ketika aqad nikah itu dilangsungkan.
Bentuk
ucapan di dalam ijab qobul dipergunakan oleh agama dengan fi’il madhi, karena
dapat menunjukkan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah
pihak, dan tidak mungkin mengandung arti lain. Berbeda halnya dengan ucapan
yang dinyatakan dengan fi’il hal atau istiqbal ( sekarang atau akan), ia tidak
secara tegas dapat menunjukaan adanya keridhaan ketika dinyatakan, andaikata
salah seorang dari mereka berkata : Uzawwijuka ibnati (aku kawinkan sekarang
anak perempuanku dengan kamu ), lalu penerima menjawab :
Aqbalu (saya terima sekarang).
Ucapan
dari kedua belah pihak ini belum tegas menunjukka telah terjadinya aqad nikah
denga sah karena masih ada kemungkinannya bahwa yang dimaksudkannya baru
merupakan satu perjanjian semata.
Sedangkan perjanjian untuk kawin di
masa akan datang, bukanlah berarti sudah terjadi ikatan perkawinan pada saat
sekarang.
Andaikata peminang berkata :
Zawwijni ibnataka (kawinkanlah
puteri bapak dengan saya ),
Lalu walinya menjawab:
Zawwajtu
laka ( Ya, saya kawinkan dia dengan kamu), berarti telah terjadi aqad
nikah, karena ucapan tersebut telah menunjukkan adanya pernyataan memberikan
kuasa dan aqad nikah sekaligus, padahal aqad nikah sah dilakukan dengan
menguasakan kepada salah satu pihak untuk melaksanakannya. Jika peminang
mengatakan : Kawinkanlah putrid bapak dengan saya, lalu walinya menjawab :saya
terima. Dengan demikian berarti pihak kedua mengadakan aqad nikah seseai dengan
permintaan pertama.
Para
ahli fiqih mensyaratkan hendaknya ucapan yang dipergunakan di dalam ijab qobul
brsifat muthlaq tidak diembel-embeli dengan sesuatu syart, misalnya pengijab
mengatakan : aku kawinkan puteriku dengan kamu, lalu penerimanya menjawab saya
terima. Ijab qobul ini namanya bersifat muthlaq. Ijab qobul yang memenuhi
syarat-syartnya hukkumnya sah, yang selanjutnya mempunyai akibat-akbat hukum.
- B. Shigat akad yang dikaitkan dengan persyaratan
Terkadang
ucapan ijab qobul itu diembel-embeli dengan suatu syarat, atau dengan
menangguhkan pada sesuatu yang akan datang, atau untuk waktu tertentu, atau
dikaitkan dengan suatu syarat. Dalam keadaan yang seperti ini maka aqad
nikahnya dianggap tidak sah,berikut penjelasan lebih rincinya.
- 1. Ijab qobul yang disyaratkan dengan suatu syarat tertentu
Ijab
qobul yang disyartkan dengan suatu syarat tertentu yaitu bahwa pernikahannya
dihubung-hubungkan dengan sesuatu syarat lain, umpamanya peminang mengatakan :
“Kalau saya sudah dapat pekerjaan,
puteri bapak saya kawin”.
Lalu ayahnya menjawab ;
“Saya terima “.
Maka akad nikah seperti ini tidak
sah, sebab pernikahanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang akan terjadi
yang boleh jadi tidak terwujud.
Padahal
ijab qobul itu berarti telah memberikan kekuasaan untuk menikmatinya sekarang,
yang oelh karena itu tidak boleh ada tenggang waktu antara syaratnya, yang di
sini dengan contoh mendapat pekerjaan, yang ketikan diucapkan belum ada.,
sedang menghubungkan kepada sesuatu yang belum ada berarti tidak ada.Jadi,
berarti pernikahanya pun tidak ada.
Jika
akad nikahnya dikaitkan dengan sesuatu yang dapat diwujudkan seketika itu juga,
maka akad nikahnya sah, umpamanya peminang mengatakan :
“Jika puteri bapak umurnya sudah 20
tahun, saya kawini dia”, lalu ayahnya menjawab:
“Saya terima”.dan ketika itu mamang
anaknya sudah berumur 20 tahun.
Begitu pula jika puterinya
mengatakan :
“Kalau ayah setuju, saya mau kawin
dengan kamu”.Lalu laki-lakinya menjawab saya terima dan ayahnya yang ada di
majlisnya itu mengatakan : Saya terima. Sebab embel-embel yang terjadi di sini
bersifat formalitas, sedangkan apa yang diucapkan dalam kenyataannya sudah
terbukti ketika itu juga.
- 2. Ijab qobul yang dikaitkan dengan waktu yang akan datang
Contohnya : Peminang berkata :
“Saya kawini puteri bapak besok atau
bulan depan”.
Lalu ayahnya menjawab :
“Saya terima”.
Ijab qobul dengan ucapan seperti ini
tidak sah, baik ketika itu maupun kelah setelah tibanya waktu yang ditentukan
itu.
Sebab mengaitkan dengan waktu akan
datang berarti meniadakan ojab qobul yang memberikan hak (kakuasaan) menikmati
sekeriak itu dari pasangan yang mengadakan akad nikah.
- 3. Akad nikah untuk sementara waktu
Jika
akad nikah dinyatakan untuk sebulan atau lebih atau kurang, amka pernikahannya
tidak sah, sebab kawin itu dimaksudkan untuk bergaul secara langgeng guna
mendapatkan anak, memelihara keturunan dan mendidik mereka. Karena itu para
ahli menyatakan bahwa kawin mut’ah dan kawin cina buta tidak sah. Karena yang
pertama bermaksud bersenang-senang sementara saja, sedang yang kedua bermaksud
menghalalkan bekas suami perempuan tadi dapat kembali kawin dengannya.
- C. Nikah Syigar
Nikah
syigar yaitu seorang wali mengawinkan puterinya dengan seorang laki-laki dengan
syarat agar laki-laki tadi mengawini puternya dengan tanpa bayar mahar. Rasul
melarang kawin semacam ini. Beliau bersabda :
“Tidak ada Syigar dalam Islam”(HR.
Muslim dan Ibnu Umar)
Berdasar
hadits tadi, jumhur ulama berpendapat pada pokoknya kawin syigar itu tidak
diakui, karena hukumnya batal. Tetappi ibnu Hanifah berpendapat kawin syigar
itu sah, hanya tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajjib mendapatkan
mahar yang sepadan dari masing-masing suaminya karena kedua laki-laki yang
menjadikan pertukaran anak perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab
wanita itu bukan sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka . dalam
perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akadnyya.
Sebab larangan nikah Syigar :
- Sifatnya masih menggantung, umpamanya dikatakan begini ; Tidaklah saudara dapat menjadi istri anakku sebelum anak saudara jadi istri saya.
- Karena menjadikan kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing pihak dijadikan sebagi pembayaran mahar yang satu kepada yang lain, padaha perempuan tidak mendapat faedahnya.
Hal itu tentu mendholimi kedua
perempuan tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinanya. Kata Ibnul Qoyyim
: Oendapat ini sesuai dengan asal kata Syigar.
- D. Nikah Mut’ah
Nikah
mut’ah mengemuka setelah beberapa orang terkenal di negeri ini melakukannya
secara diam-diam, namun tercium oleh pers, sehingga menimbulkan kontroversi di
kalangan ummat Islam. Nikah Mut’ah atau lebih dikenal dengan ‘kawin kontrak’
adalah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu
untuk ‘jangka waktu terbatas’ yang berakhir dengan habisnya masa tersebut.
Suami tidak berkewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada isteri
serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 (enam) perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni, sebagaimnana dikutip oleh Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia LPPI, yaitu:
Ada 6 (enam) perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni, sebagaimnana dikutip oleh Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia LPPI, yaitu:
1. Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu,
sedangkan nikah sunni tidak dibatasi
2. Nikah mut’ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni
berakhir dengan talaq atau meninggal dunia
3. Nikah mut’ah tidak berakibat
saling mewarisi antara suami isteri, sedangkan nikah sunni menimbulkan
pewarisan antara keduanya
4. Nikah mut’ah tidak membatasi
jumlah isteri, sedangkan nikah sunni dibatasi dengan jumlah isteri hingga
maksimal empat orang
5. Nikah mut’ah dapat dilaksanakan
tanpa wali dan saksi, sedangkan nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan
saksi
6. Nikah mut’ah tidak mewajibkan
suami memberikan nafkah kepada isteri Nikah mut’ah atau kawin kontrak
sebenarnya merupakan tradisi Kaum Syi’ah.
Hal
ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w. oleh para mufassirin (ahli tafsir)
Syi’ah. Mufassirin Syi’ah yang sangat terkenal dalam ‘membela’ dihalalkannya
nikah mut’ah adalah Fathullah Al-Kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab
Tafsir Manhaj, Dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan
yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa melakukan mut’ah sekali
dalam hidupnya, maka ia akan menjadi ahli surga, dan orang yang mengingkari
mut’ah dianggap kafir murtad.
Sedangkan
Abu Ja’far Asth-Thusi dalam kitabnya At-Tahdzif menyatakan bahwa Abu Abdillah
a.s. (Imam Syia’ah yang dianggap suci) memberikan pernyataan bahwa ‘kawinlah
(secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karea mereka adalah wanita
sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya anita sewaan.’ Fathullah
al-Kasyani menyatakan bahwa rukun nikah mut’ah adalah suami, isteri, mahar,
pembatasan waktu (taukit) dan shighat ijab kabul. Sedangkan syaratnya adalah cukup
dengan akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah)
tanpa ada saksi, terbebas dari beban nafkah, tanpa dibatasi jumlah wanita
(boleh dengan seribu wanita sekalipun), tidak ada hak mewarisi, tidak
diperlukan wali, tidak dibatasi waktu, wanita yang dimut’ah statusnya sama
dengan wanita sewaan atau budak (Risalah Dakwah Al-Hujjah No. 48 tahun IV
Shafar 1423).
Hukum Nikah Mut’ah
Majelis Ulama Indonesia dalam
fatwanya tanggal 25 Oktober 1997 menetapkan bahwa Nikah Mut’ah hukumnya HARAM,
dan pelaku nikah mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-perundangan yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa
nikah mut’ah mulai banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan
mahasiswa. Kedua, praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan,
kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh
masyarakat dan ummat Islam, serta dipandang sebagai alat propaganda paham
Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa mayoritas ummat Islam Indonesia adalah
penganut paham Sunni yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah.
Adapun dalil-dalil yang menjadi
dasar keharaman nikah mut’ah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Mukminun ayat 5 dan 6 serta hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi s.a.w. disabdakan
sebanyak 2 (dua) kali, yaitu tatkala terjadi perang Khaibar pada tahun 7 Hijrah
dan kedua pada Fathu Makkah pada tahun 8 Hijrah. Dari Ali ibn Abi Thalib r.a.
ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi s.a.w. melarang nikah mut’ah dan
memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. Diriwayatkan dari
Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: ‘kami bersama Rasulullah s.a.w. dalam
suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu
kami dan bertemu dengan wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut,
sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu.
Kemudian wanita tadi berkata: ‘ada selimut seperti selimut.’ Akhirnya aku
menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke
Masjidil Haram dan tiba-tiba aku melihat Nabi s.a.w. sedang berpidato di antara
pintu Ka’bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, aku
pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah, maka sekarang
yang memiliki isteri dengan cara nikah mut’ah haruslah ia menceraikannya dan
segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi,
karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari Qiyamat.
Semua madzhab, baik madzhab Hanafi,
madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali juga mengharamkan nikah
mut’ah, karena memang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, dan hadits-hadits
yang mengharamkan nikah mut’ah dianggap telah mencapai peringkat mutawatir.
Nikah Mut’ah dan Martabat Wanita
Hikmah
dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga
martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang
sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada
akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung.
Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada
hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu
sesaat).Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka
menjunjung harkat dan martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu
bentuk nyata bagaimana Islam memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan rukun
nikah, maka seorang laki-laki tak akan bisa menikahi seorang wanita dan
membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan disyari’atkannya lembaga pernikahan
adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia).
Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia).
- E. Nikah Tahlil
Yaitu seorang laki-laki mengawini
perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian
mentalaknya dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat kawin lagi
dengan dia kembali.
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud r.a, bawha Rasulullah saw. melaknat muhalil, yaitu orang yang menikahi
wanita dengan tujuan menghalalkan wanita itu bagi suaminya yang telah menjatuhkan
talaq tiga atasnya dan juga melaknat muhalal lahu, yaitu seorang suami yang
telah mentalak tiga isterinya lalu menyuruh orang lain dengan tujuan
menghalalkannya untuk dirinya.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir
r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahu
tentang kambing penjantan?’ ‘Tentu saja wahai Rasulullah!’ sahut mereka.
Rasul Bersabda, ‘Yaitu muhallil, Allah melaknat muhallil dan muhallil
lahi’,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1120] dan an-Nasa’i [VI/149]).
Kandungan Bab:
- Kerasnya pengharaman nikah tahlil. Karena biasanya laknat dijatuhkan atas dosa besar. At-Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat r.a, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar dan lainnya. Dan ini juga pendapat para fuqaha dari kalangan tabi’in serta pendapat yang dipilih oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”
- Wanita yang telah ditalak tiga tidak halal bagi suami yang telah mentalaqnya hingga ia menikah dengan laki-laki lain dan menyetubuhinya. Ia mencicipi madu laki-laki itu dan sebaliknya. Hubungan nikah yang disertai hasrat birahi. Jika kemudian laki-laki itu mentalaqnya barulah ia halal dinikahi oleh suaminya yang pertama tadi. Jika laki-laki itu tetap mempertahankannya (tidak mentalaqnya) maka tidak halal bagi suami pertamanya tadi untuk menuntut agar laki-laki itu menceraikan mantan isterinya.
- Barangsiapa menikahi wanita yang telah ditalaq tiga untuk menghalalkannya bagi mantan suami yang telah mentalaqnya maka ia jatuh dalam laknat. Berdasarkan riwayat shahih dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya bertanya tentang seorang laki-laki yang mentalaq tiga isterinya lalu saudara laki-lakinya menikahi mantan isterinya itu dengan tujuan menghalalkan mantan isterinya itu untuknya tanpa ada kesepakatan antara keduanya. Apakah hal itu boleh dilakukannya? Abdullah bin Umar menjawab, “Tidak boleh, kecuali pernikahan yang disertai dengan hasrat birahi. Kami menganggap perbuatan itu seperti perzinaan pada masa Rasulullah saw,” (Shahih, HR al-Hakim [II/199] dan al-Baihaqi [VII/208]).
Ibnu
Umar pernah ditanya tentang nikah tahlil untuk menghalalkan seorang wanita
dengan mantan suaminya. Beliau menjawab, “Itu adalah perzinaan, kalaulah Umar
mengetahui kalian melakukannya niscaya ia akan menghukum kalian,” (Shahih, HR
Ibnu Abi Syaibah [IV/294]).
Akan
tetapi ashabur ra’yi menyelisihinya, mereka mengatakan, “Ini adalah perbuatan
baik untuk saudaranya seislam dan niat baik untuk merajut kembali hubungan
mereka, anak-anak mereka dan keluarga mereka. Ia termasuk orang yang berbuat
baik, dan tidak ada cela atas orang yang berbuat baik, apalagi dijatuhi laknat
Rasulullah atas mereka!”
Sebagaimana
yang dikatakan oleh at-Tirmidzi bahwa sebagian ahli ilmu mengatakan, “Pendapat
ashabur ra’yi dalam masalah ini harus dibuang jauh-jauh.”
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul
Authar (VI/277), “Tentu tidak samar lagi perkataan itu jauh sekali dari
kebenaran, bahkan termasuk jidal dengan kebatilan dan dusta. Bantahannya tidak
samar lagi atas orang yang berilmu.”
- Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Jika seorang laki-laki menikahi wanita dengan tujuan menghalalkannya (untuk manta suaminya) kemudian ia berubah pikiran untuk tetap mempertahankannya sebagai isteri maka halal baginya sehingga ia memperbarui akad nikahnya dengan wanita tersebut.”
Saya
katakan, “Pendapat yang benar adalah sebaliknya, ia boleh mempertahankannya
sebagai isteri tanpa harus memperbarui akad nikahnya. Sebagaimana yang dinukil
secara shahih dari Umar bin Khattab r.a, bahwa ada seorang wanita menikahkan
dirinya sendiri dengan seorang laki-laki untuk menghalalkannya dengan mantan
suaminya. Umar bin Khattab memerintahkan agar laki-laki itu tetap
mempertahankan si wanita dan tidak mentalaknya dengan mengancam akan
menghukumnya bila ia mentalaknya. Hal itu berarti nikah mereka sah tanpa harus
memperbarui akad, wallahu a’lam.
Faidah:
Di negeri Syam, nikah tahlil
ini disebut nikah tajhisy dan di negeri ‘Ajam disebut al-halaalah.
Bab
III
Penutup
- A. Kesimpulan
Para ahli fiqih mensyaratkan ucapan
ijab qobul itu dengan lafadz fi’il madhi atau salah satunya dengan fi’il madhi
dan yang lain fi’il mustaqbal. Ijab qobul brsifat muthlaq, dan kata-kata yang
digunakan dapat dipahami oleh masing-masing pihak.
Nikah yang dikaitkan dengan syarat
tertentu, ada yang dianggap sah dan ada yang tidak, tergantung pada hal apa
syarat itu.
Nikah syigar yaitu seorang wali
mengawinkan puterinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki
tadi mengawini puternya dengan tanpa bayar mahar.
Nikah Mut’ah adalah perkawinan
antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk ‘jangka waktu
terbatas’ yang berakhir dengan habisnya masa tersebut.
Nikah tahlil yaitu seorang laki-laki
mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian
mentalaknya dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat kawin lagi
dengan dia kembali.
- B. Saran
Pernikahan ternyata tidak semudah
yang dipikirkan,namun apabila dipelajari banyak sekali hikmah yang bisa di
dapat. Oleh karena itu, bagi para mahasiswa belajar lebih mendalam lagi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, agar kita semua bisa
melaksanakan sunnah rosul ini dengan baik dan sah baik menurut syara juga resmi
menurut Negara.